Aku Berhasil Taklukkan Tibet.

Tanggal 4 Mei 2017.

Pemandangan sepanjang perjalanan seperti ini...
Iya, akhirnya aku berhasil taklukkan Tibet setelah sebelumnya dipenuhi kekhawatiran yang berlebih. Sejak memutuskan untuk ke Tibet, banyak baca, cari tahu tentang Tibet, yang paling mendominasi batin ini adalah serangan AMS ( Altitude Mountain Sickness ). Banyak yang cerita bagaimana sengsaranya ketika diserang AMS.  Coba tanya om google tentang AMS dan bagaimana gelajanya.

Kekhawatiran aku bukan tidak mendasar, manusia seperti aku yang jarang sekali olahraga, ditambah lagi, aku juga bukan tipe anak gunung, membuat diriku semakin berpikir tidak karuan. Berada diatas ketinggian 3.000 m sama sekali bukan ide yang tepat buat diriku, terlebih lagi, berani membeli paket tour sampai ke Everest Base Camp yang mencapai ketinggian 5.200 m diatas permukaan laut
Finally, di EBC..
Berbagai persiapan mulai dilakukan sebelum tanggal keberangkatan, tapi semuanya gagal. Hampir tidak pernah olahraga walaupun sudah beli paket olahraga, jadwal kerja yang padat, termasuk jadwal traveling yang menggila sejak 2 bulan sebelum terbang ke Nepal. Pasrah. Jalani saja. Nikmati saja.

Jika membaca dan mendengar dari pengalaman orang lain, sudah terbayangkan, bagaimana susahnya untuk bisa traveling di Tibet. Aku sendiri mulai merancang beberapa kode sandi untuk dipakai di Tibet jika mau minta tolong, entah sakit, entah mau apa, entah mau bicara. Termasuk tidak boleh banyak bicara, jangan terlalu banyak bergerak, jalan juga harus pelan – pelan. 

Kenyataannya,

Aku tidak mengalami satu hal apapun. Semua berjalan dengan lancar diluar dari prasangka yang telah tercipta diotakku sebelumnya. Begitu keluar dari airport, tanpa sadar, aku jalan seperti biasanya di Jakarta, malahan pakai lari. Saat di mobil, oleh Tan Jeng, tour guide yang menemaniku selama tripku di Tibet, ditanya, apakah aku baik- baik saja? Dari serius tanya sampai malas tanya hingga tidak pernah tanya lagi, bagaimana kondisiku? Apakah aku ada alami pengaruh altitude itu ?

Potala Palace
Pikirku, mungkin masih di Lhasa, ketinggian baru 3.000 m – an saja, belum terlalu tinggi, masih okey. Ketika mendaki naik jalan kaki ke puncak Potala Palace sekitar 3.600 m, kondisi badan masih baik. Kemudian masuk ke Jokhang Temple dan keliling Barkor Street sampai berkali- kali, kondisi badan tetap stabil. 
View dari depan Potala Palace.
Koko Tour Guide ingatkan untuk banyak istirahat, cepat tidur, agar tubuh bisa fit dan tidak terganggu pengaruh AMS. Aku, malah keliyuran sampai jam 10 malam baru pulang ke hotel, belum lagi beberes, sekitar jam 11-an malam baru tidur. Dia hanya bisa geleng – geleng kepala. 

Saat mulai meninggalkan Lhasa dan mendaki naik ke atas menempuh perjalanan ke Shigatse, pemandangannya memang luar biasa. Beberapa kali kami berhenti sekedar untuk menikmati alam. Aku ingat betul, perbehentian pertama itu diatas ketinggian 4.200 m, begitu pintu mobil dibuka, yang terasa udara segar… Yupss, udaranya segar banget. Aku menghirup udara dalam- dalam dan perlahan melepaskannya. Sejenak kemudian aku baru sadar, aku tidak terganggu sama sekali dengan pengaruh AMS. Yihaa… senangnya… Jalan sana- sini, foto sana- sini, pakai pose ini- itu. 
Diatas ketinggian 4.200 m.
Okey, baru 4.200 m, masih okey. Mobil kemudian melaju naik ke atas lagi. Tepat berada diatas ketinggian 4.998 m, kami berhenti lagi untuk melihat pemandangan kece dari atas gunung ke Yamdrok Lake. Masih sama, tetap stabil. Tidak ada terasa apapun. Bisa jalan dari ujung ke ujung. Ngobrol tidak jelas dan berada diluar mobil cukup lama. Jalan seperti biasa, tidak perlahan- lahan. 
Diatas ketinggian 4.998 m.
Selanjutnya kami berhenti di Karola Glacier yang berada diatas ketinggian 5.020 m. Disini, aku senangnya luar biasa. Ada salju, ya… turun salju tipis. Sama sekali tidak ada pengaruh AMS. Aku berjalan normal. Malahan terkadang berjalan cepat. Kadang, diiringi lari kecil. 
Tertinggi yang aku datangi, 5.248 m
Dan yang paling tinggi di 5.248 m, aku juga tidak ada masalah. Tidak mengalami sedikitpun halnya tentang AMS. Semuanya seperti biasanya. Ya, namanya diatas gunung, ya dingin. Anginnya kencang. Aku cuma terasa tangan sedikit beku saat terlalu lama diluar mobil. Selebihnya, tidak ada masalah. Sedangkan, jaket tebal yang aku bawa, aku malah tidak pakai. Si bapak supir malahan berkali- kali ingatkan untuk pakai jaket tebal hitamku. Ya, aku pakai, sebentar saja, terus aku buka lagi. Hahahaha…
Di Karola Glacier.
Puncaknya adalah ketika sudah berada di Rongbuk, yang terletak tepat dikaki gunung Everest. Kami tiba disana sekitar jam 5 sore. Dingin, iya dingin sekali. Sedikit mendung. Sambil menunggu cuaca cerah supaya  bisa menikmati sunset sore itu, kami kumpul di restoran Rongbuk Hotel. Koko Tour Guide memastikan sekali lagi kondisiku, apakah baik- baik saja? Tentu, aku baik – baik saja. 
Nikmati Everest dari Rongbuk.
Dan benar saja, cuaca sore itu kembali cerah. Aku bisa nikmati biasnya sunset yang menyinari puncak Everest yang begitu kokoh dan angkuh itu. Puas. Iya, aku puas. Tinggal selangkah lagi, aku berada dititik paling dekat dengannya. Dengan berbagai tingkah dan gaya pose, aku menjadikan Everest sore itu menjadi latarnya. Tertawa dan berjalan sana – sini. 
Mount Everest
Rongbuk Hotel.

Khusus hotel ini, aku ingin membahasnya disini. Selain hotel ini, tempat terdekat ke EBC adalah tinggal di tenda – tenda. Tapi hotel ini lebih tepatnya disebut Rongbuk guesthouse. Bentukkannya seperti rumah penduduk lokal. Kamar- kamarnya sampai toiletnya. Hahaha… Terutama adalah tentang toiletnya yang ajib banget. Tidak ada ruangan, hanya ruang sekat biasa sebatas paha dan terbuka. Kalau mau buang air besar, ya kamu harus pas- pas-kan pantat kamu sama lubangnya yang telah disediakan. Aromanya… sudah tidak perlu diragukan lagi… Jangan dibayangkan ya…Disinilah, mental kamu diuji..
Rongbuk guesthouse.
Kamar tidurnya, standart saja, mungkin karena terbuat dari bebatuan, jadi dinginnya luar biasa. Satu- satu tempat yang hangat disana hanya restorannya yang seadanya itu. Ada tungku masak air, jadi pada kumpul disana. Memang, mereka ada lengkapi dengan pemanas tempat tidur, tapi udaranya dingin banget, jadi lumayan mengganggu.

Malam itu, aku ingat betul, aku hampir tidak tidur semalaman. Aku pakai sleeping bag yang aku bawa sendiri, pakai seprei-nya, dingin sih sudah tidak terasa lagi. Entah kenapa, tetap saja tidak bisa tidur. Tidak sesak napas, tidak pusing, tidak mual, tidak sakit. Normal saja. Karena tidak ada kegiatan, bosan, ya makan, sempat makan pop mie yang aku bawa dari Jakarta, ketawa- ketawa, ngobrol tidak jelas, terus masih sempat makan buah. Menunggu datangnya pagi, lama sekali. 

Ketika sudah jam 6 pagi, bersyukur banget, akhirnya bisa keluar kamar. Yang lain pada belum bangun, aku sudah diluaran. Masih gelap. Dingin banget. Menunggu datangnya matahari pagi itu, aku ngobrol dengan supir dan tour guide. Aku cerita, aku tidak tidur semalaman loh. Dia malah bilang, oh , tidak masalah, itu wajar saja, kalau di Rongbuk, tidurnya tidak pulas. Kamu ini sudah sangat bagus. Mereka cerita, tidak sedikit yang minta pulang tengah malam itu juga, karena tidak tahan karena kekurangan oksigen, ada yang sakit dan sebagainya. Dan aku tersipu malu…
Titik terdekat, aku ke Mount Everest.
Tambahnya lagi, jangankan disini, ada yang lebih parah, baru di ketinggian 4.000 m saja sudah muntah- muntah, pusing, susah napas, akhirnya tidak jadi datang dan kembali ke Lhasa lagi. Bahkan, terparah, ada yang di Lhasa saja, sudah masuk rumah sakit, diinfus. Yang paling parah, ada yang sampai pembuluh darah matanya pecah. Seram juga sih kalau dengar ceritnya. 

Entahlah, aku merasa bersyukur banget, dikasih kesempatan untuk melihat dari dekat Mount Everest walaupun tidak mendakinya. Karena itu bukanlah aku, pendaki. Aku sangat puas, untuk bisa berada dari jarak yang sangat dekat, dengan kondisi badan yang tetap stabil dan fit, tanpa ada gangguan kesehatan apapun. Bersyukur dikaruniai kondisi badan sedemikian rupa, diluar dari prediksiku sendiri, bersyukur karena alam memberiku kesempatan, karena alam menerima kondisi badanku. 

Diatas ketinggian 5.190 m
Ketika yang lainnya, hanya untuk berjalan saja perlu perjuangan, hanya untuk bernapas saja perlu oksigen yang dibeli dan dibawa kemana- mana, ketika yang lainnya, harus banyak diam dan menyimpan energy, aku malah bisa berjalan bebas, aku bisa lari, aku bisa menghirup udara segar dengan enteng, bahkan, aku bisa berfoto sambil loncat. Ya, gaya alay, gaya favorit kebanyakan orang kalau di pantai.  Aku melakukannya 3 kali, sekali di ketinggian 5.198 m, sekali diketinggian 4,700 m dan sekali diatas ketinggian 4.200 m. Halah, bukan bermaksud sombong. Tapi ya sedikitlah bangga pada diri sendiri, karena awalnya memang tidak punya keyakinan penuh pada diri sendiri. Tidak disangka saja. 
Di Namtso Lake.. diatas ketinggian 4 700- an m.
Beginilah pengalamanku, berbeda banget dengan pengalaman yang dari traveler yang sudah pernah kesana, dari yang aku baca. Setiap orang punya kondisi badan yang berbeda. Tidak bisa disamakan. Yang tahu tentang kondisi badanmu, ya kamu sendiri. Bukan orang lain. Jadi, jika memang kamu punya impian untuk menikmati panorama super keren yang ada didunia ini, Tibet yang menjadi payung dunia, yang terkenal dengan istilah Rooftop of The World, wujudkanlah. Jangan takut. Persiapkan dengan baik. Aku yakin, kamu pasti bisa. 

Sekedar informasi, selama di Tibet, aku konsumsi obat penangkal AMS yang aku beli di Kathmandu, 1 butir setiap pagi, makan apel dan pisang seadanya saat sarapan di hotel, makan suplemen Omega dan vitamin C, aku kurangi makanan pedas karena khawatir sakit perut, tahulah, toilet di Cina pada umumnya, aku banyak makan sayur hijau, tidak terlalu banyak minum juga sih, padahal kalau konsumsi penangkal AMS, disarankan banyak minum air putih, tidur diatas jam 10 malam, bangun paling pagi 6 jam, paling siang jam 8, tergantung jadwal keberangkatan besoknya.  Dari pakaian super lengkap, jaket tebal sampai syal hingga hanya jaket tipis buat tahan angin saja. Tidak pakai sunblock, padahal aku bawa, hasilnya, kulit wajahku terbakar.  

Buddhis Tibetan, dalam menjalankan ibadahnya.
Sumpah, Tibet itu luar biasa indahnya. Aku sih bilang, harga yang dibayar itu setimpal dengan yang didapatkan. Selain pemandangan alamnya yang TOP – BGT, sejarah Tibet, budayanya, agamanya, orang- orangnya, lingkungannya juga tidak kalah menarik. Bagaimana orang- orang Tibet begitu taat dalam menjalani ibadahnya. Semuanya, tidak didapatkan dibelahan dunia manapun juga. Bagaimana orang Tibet yang beragama Buddha melaksanakan ibadahnya? Aku yang penganut agama Buddha saja, aku yakin, aku tidak sanggup. Aku salut sama ketulusan hati mereka, salut dengan keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap agama dan Tuhan mereka. 

Pemandangan sepanjang perjalanan.
Kamu harus datang dan lebih sendiri, betapa Tibet itu apa adanya. Betapa Tibet tentang pengaruhnya dari pemerintah Cina pusat, berapa Tibet yang tidak tahu menahu tentang dunia luar, tentang Tibet yang ketat banget keamanannya, terutama turis, betapa Dalai Lama, Panchen Lama dan Tibetannya. Menarik, sangat menarik. 

Tibet itu berbeda. Tibet, harus kamu datangi, cukup sekali saja, seumur hidupmu!!!

With Love,

@ranselahok
---Semoga semua mahluk hidup berbahagia---


Share on Google Plus

About ranselahok

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

3 komentar :

  1. Koooooo... mau nanya-nanya yaaaaa..
    kebetulan udah rencana ke Tibet taon depan (juni 2020) hehehe...

    ReplyDelete
  2. Wahhh seriusan! Ada sesuatu yang menggebu di dalam dada kami membaca catatan perjalanan ini mas.
    Tibet, negeri impian para pejalan.. Semoga dapat segera kesana...

    ReplyDelete

Powered by Blogger.

Popular Posts