Trip ASEAN : Kisah Nyata Kejamnya The Killing Field ,Khmer Merah dan Megahnya The Royal Palace , Phnompenh - Kamboja

5 November 2013

Sesuai dengan kesepakatan dengan supir tuk- tuk, objek wisata yang pertama kami kunjungi di Phnompenh adalah Mekong River. Waktu itu , sudah jam 11 siang lewat. Sekalian check out dari hotel, tapi semua tas dititipkan di hotel. Kami tidak ada bayangan sama sekali akan tempat wisata itu, seberapa jauh dan berapa lama akan sampai dilokasi. Tapi perjalanan yang kami tempuh dari hotel ke tempat itu memakan waktu 1 jam lebih. Selama dijalan, kami melihat berbagai aktifitas warga yang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Eittss, tapi menurut saya sekali lagi, Phnompenh hanya dibandingkan dengan kota Medan ya, bukan Jakarta. Sempat merasa curiga dan aneh, saat 30 menit pertama, pasalnya, melihat kondisi jalan, sepertinya ini jalan arah keluar kota, ada beberapa bangunan yang saya tandai ketika saya berada di bus dari Simreap. Terlebih lagi, tidak ada mobil travel atau sejenisnya yang membawa para turis.

Seberang sana, katanya Mekong Island
Benar saja, akhirnya terbukti juga perasaan tidak enak itu. Kami diantarkan ke tempat lain, yang bukan tujuan objek wisata. Parahnya, tempat itu bukanlah lokasi untuk turis. Kami ingin ke Mekong River, diantarnya kami ke Mekong Island, yang mana harus naik boat lagi untuk bisa menyebrang. Tepok jidat dan ngedumel terus- terusan. Bah, bagaimana tidak kesal, sudah diburu waktu, satu hari ini harus bisa ketiga tempat. Pakai acara salah lokasi lagi. Ditambah waktu perjalanan pp sampai dikota memakan waktu 3 jam. Bonus debu dengan jalanannya yang berlubang lagi. Sungguh... terlalu.....

The Royal Palace


Buru- buru tancap gas-lah supir tuk- tuk itu. Sampai dikota, tidak pakai acara makan siang. Sekitar jam 2, kami tiba di Royal Palace. Cuaca sangat panas, terik matahari siap menggosongkan kulit siapa saja yang berani menantangnya. Sebelum masuk kedalam, kami menyempatkan diri untuk membeli sebotol minuman air mineral seharga 1 USD. Tidak ada pilihan lain.


Untuk berkunjung ke Royal Palace ini, harus perhatikan waktunya, kalau tidak salah, mereka istirahat dari jam 12 sampai jam 2 siang. Harga tiket 6 USD / org. Sempat antri sekitar 15 menit untuk bisa berada didepan kasir yang menjual tiket. Tips buat anda yang ingin berkunjung kesini, perhatikan pakaian, karena harus sopan santun, harus berlengan , tidak boleh yang pendek- pendek. Bisa dicek kepastiannya di website resmi mereka. 


Royal Palace dan lingkungan sekitarnya yang berada didepan, jauh berbeda dengan apa yang kami lalui tadi siang, saat menuju Mekong Island. Disini, terlihat begitu rapi, indah dan tertata seyogianya sebuah Ibukota. Semua bendera negara kebangsaan dari seluruh dunia, berkibar disana, termasuk Merah Putih. Tepat disepanjang jalan, yang menurut saya, merupakan salah satu pusat hiburan malam, tempat nongkrong entah buat warga lokal dan turis. Banyak sekali restoran disana, taman yang rapi, yang menghadap langsung ke sungai, mungkin inilah Mekong River yang saya maksud. 



Mengelilingi Royal Palace dan Silver Pagado, menikmati setiap sudut dan struktur bangunan istana itu, kami menghabiskan waktu 1 jam lebih. Hari itu, ramai dikunjungi para turis. Masing- masing rombongan beserta dengan tour guide-nya. Saya benar- benar santai, duduk ditangga menuju istana itu, diam, melihat kesekeliling dan menghirup udara segar siang itu, melihat burung- burung berterbangan, lapangan istana yang luas, bersih dan hijau dengan tanamannya. Selain warna utama yang pasti tertangkap mata adalah kuning, yang melambangkan kemewahan. Para turis, tidak diperkenankan untuk masuk kedalam istana itu, hanya boleh melihat dari luar. 


Sadar akan waktu yang tersisa semakin sedikit, kami memutuskan untuk mengakhiri kunjungan disini. Supir tuk - tuk sudah standby dipintu keluar Royal Palace. Kami melewati dan mengabaikan , toko- toko yang menjual souvenir disana. Sudah jam 3 sore lebih ketika kami menuju ke The Killing Field Choeung Ek. 

The Killing Field Choeung Ek

Gerbang masuk Choeung Ek
Perjalanan kali ini terasa lebih parah dan lebih berat, kondisi cuaca yang panas, ditambah jalanan berlubang dan banyaknya debu. Siapkan masker jika ingin kesini. Saya tidak tau apa penyebabnya, mungkin sedang tahap pembangunan. Tapi, benar- benar parah. Air untuk membasuh wajah saja bisa berubah jadi warna hitam pekat. Pulang pergi memakan waktu 2 jam dan selama itu juga, kami harus tegar , tabah, diam, tidak boleh berbicara, plus mata harus ditutup rapat. Tahu untuk kenapa? Tahu donk...

Tips buat anda, sebaiknya untuk mengunjungi The Killing Field pada pagi sampai siang hari, saat matahari masih terang. Alasannya, nanti juga tahu sendiri.

Rekaman, headset dan brosur
Seakan tidak mau kehabisan waktu, langsung menuju loket. Tiket masuk 3 USD / orang. Nah, disini kita dikasih guide by rekaman dan satu headset. Untuk bahasa pengantarnya, bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan. Bahasa Indonesia tidak tersedia disini. Hanya bahasa Melayu dari Malaysia dan berbagai bahasa Internasional seperti bahasa Inggris , Mandarin, Perancis dsb. 

Foto yang menunjukan saat penggalian
Dengan rekaman itu, kita akan dituntun step by step, kita diminta mengikuti petunjuk dari kertas brosur yang sudah ada keterangannya. Sedangkan, rekaman itu, kita tinggal tekan nomor sesuai dengan lokasi yang kita datangi. Dari satu titik ke titik lainnya, sudah ada penjelasan didalam rekaman itu. Kemudian, disetiap lokasi titik didalam rekaman itu, kita akan diberitahu untuk melangkah beberapa langkah menuju titik berikutnya yang sudah diberi tanda.

Sisa pakaian korban yang tidak terurai
Isi rekaman itu, selain penjelasan tentang titik lokasi, ada suara langsung dari beberapa korban yang berhasil lolos dari sengatan maut yang terjadi disana. Ada suara tangisan, suara tembakan, suara ketakutan, suara nyanyian , suara orang yang sedang diinterogasi. Ada sebuah speaker yang digantung disebuah Magic Tree yang memutarkan lagu- lagu dengan sangat kencang ketika para korban disiksa dan dibantai. Sehingga lonlongan suara minta tolong tidak terdengar sama sekali. Sungguh keji, kejam.....

Magic Tree
Lokasi ini dikenal sebagai tempat pembantaian puluhan ribu orang secara brutal tanpa mengenal hati nurani. Tempat ini awalnya adalah kuburan massal orang Tionghoa. Tempat ini kemudian dijadikan tempat kekejaman rezim Khmer Merah yang berkuasa saat itu. Sebagian besar, orang - orang yang menjadi korban adalah para intelektual seperti dokter, guru, diplomat dan lainnya yang tidak berprofesi sebagai buruh. Anak kecil dan perempuan juga menjadi korban.

Tengkorak dari para korban
Kondisi sore itu, saat kami ada disana, sudah jam 4 sore, dibawah pohon yang besar dan rindang, matahari mulai kembali keperaduannya, membuat bulu kuduk berdiri dan tegang. Berada ditempat tempat pembantaian yang notabene juga merupakan pemakaman itu. Sisa - sia pakaian, baju dan celana, sepatu , tulang belulang, dan sisa peninggalan lainnya tidak bisa terurai itu, dikumpulkan jadi satu disatu tempat. Kita, diminta untuk berhati- hati dalam melangkah dan tidak sembarang menginjak. 

Sisa tulang belulang ditemukan disini
Diujung dari titik itu, ada sebuah monumen yang dibangun untuk memperingati para korban. Terasa pilu dan menyedihkan. Didalam monumen itu, sisa tenggorak dan tulang - tulang dari para korban itu dikumpulkan jadi satu. Sesuai dengan kepercayaan, saya membakar dupa dihadapan monumen itu dan mendoakan mereka. 

Monumen Choeung Ek
Tidak munafik, rasa takut, merasa menyeramkan, perut mual menyertai kala itu. Sungguh meninggalkan rasa kepedihan yang mendalam bagi warga lokal Kamboja, yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan peristiwa kejam itu. Sebelum keluar dari The Killing Field, kami harus mengembalikan rekaman dan headset itu kepada petugas. Jam berkunjung rupanya sudah ditutup. Waktu menunjukkan pukul 6 sore, ketika kami naik tuk- tuk kembali ke hotel untuk mengambil tas- tas yang kami titipkan. Tempat ini menjadi tempat terakhir yang kami kunjungi selama perjalanan wisataku kali ini, sebelum terbang menuju Singapore. 

Dari hotel, dengan tuk- tuk yang sama, kami berangkat ke bandara, butuh hampir 45 menit. Bandara internasional Phnompenh tentu jauh berbeda dengan apa yang kami lihat ketika melewati perbatasan Poipet , Simreap dari Aranyaprapet , Thailand. Memang, bandara ini tidak mewah, tidak seperti bandara Singapore, Hongkong, Malayasia, atau bahkan Kuala Namu Medan. Malam itu, tidak terlalu ramai dengan penumpang. Antrian imigrasi tergolong sepi. Sadar seharian belum makan setelah sarapan di hotel tadi pagi, kami mengisi perut disalah satu restoran cepat saji yang menjual burger. Jam 9 malam, pesawat membawa kami membelah langit Phnompenh dan mengantarkan kami selamat di Changi Airport , Singapore. Kami tiba sudah jam 12 malam lewat, perbedaan waktu 1 jam lebih cepat, membuat kami seakan menempuh perjalanan udara itu selama 3 jam. MRT sudah tidak beroperasi lagi, taxi menjadi pilihan terakhir. 


With Love,

-semoga semua mahluk hidup berbahagia-
Share on Google Plus

About ranselahok

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

6 komentar :

  1. Emang dasarnya kamu tukang ngedumel bro :D

    ReplyDelete
  2. ah, sy paling ga tahan kl dengar kisah penyiksaan. apalagi massal. 'beruntung' ya dah prnh berkunjung ksana. pengalaman batin jd bertambah ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa... sedih dan takut bercampur jadi satu...

      Delete
  3. kalau saya berkunjung ke Killing Field itu sedpertinya juga sama pengalamannya, ngeri auranya menakutkan soalnya belum pernah liat tulang belulang manusia dipamerkan hiiiy :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya bang, aura nya lumayan seram sih .. remang- remang gitu... makasih sudah berkunjung bang...

      Delete

Powered by Blogger.

Popular Posts